Agama dan Korupsi dalam Perspektif Politik Pemerintahan

Agama dan Korupsi dalam Perspektif Politik Pemerintahan

Agama dan Rasuah adalah dua hal yang berkaitan erat. Secara logis dan ideal, seseorang yang taat beragama dan menjalankan agama dengan baik akan terhindar dari 'rasuah' atau 'korupsi' dalam bahasa Indonesia. 

Hal ini terungkap dalam diskusi "Webinar Siri Wacana Dasar Inpuma Kerumitan Rasuah di Malaysia, Wacana Dasar II, Agama dan Rasuah" yang diselenggarakan oleh Universiti Malaya, pada hari Senin, 19 Juli 2021 pukul 10.00 waktu Kuala Lumpur, Malaysia. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari berberapa negara yang mayoritas berasal dari Indonesia dan Malaysia.

Salah seorang pembicara pada kegiatan diskusi webinar tersebut, Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA., yang juga menjabat sebagai Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta, menyampaikan pandangannya terkait korupsi dan agama dalam perspektif Politik. Menurutnya, agama secara tekstual jelas melarang korupsi, namun dalam kenyataannya hingga kini masih terdapat pejabat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang terjerat kasus korupsi.

Korupsi muncul karena hilangnya kontrol diri. Semakin rendah nilai-nilai yang dianut oleh seseorang atau suatu lembaga, maka akan semakin besar tingkat kecenderungannya untuk melakukan  korupsi.  Masyarakat tidak mampu menerima korupsi, namun anehnya 'memaklumi' praktik korupsi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena tingkat religiusitas masyarakat masih sebatas pada level normatif atau keyakinan, dan belum berefek pada tingkat perilakunya, yang disebabkan karena minimnya integritas untuk mengamalkan apa yang diyakini.

Terdapat suatu ambiguitas etik di kalangan masyarakat di mana semua agama melarang korupsi, mencuri, tetapi penganutnya membenarkan korupsi dengan alasan tertentu. Ada anggapan bahwa dosa korupsi bisa ditebus dengan amal sedekah dengan uang korupsi. Hal ini terjadi akibat pemahaman agama yang masih sebagai ritualitas belaka.

Di Indonesia, sistem politik dan kekuasaan juga bisa menyebabkan terjadinya korupsi, contohnya adalah dominasi pendekatan sistem pemilu sebagai investasi politik. Masalah ini menunjukkan bahwa banyak dimensi dari korupsi yang bersifat kompleks dan saling terhubung.

Menurut Nurliah, hanya para aparatur sipil negara dan pejabat pemerintahan maupun pejabat politik yang berintegritas yang diperbolehkan menduduki jabatan penting, sehingga harus dibuat sistem yang dapat menilai jiwa integritas antikorupsi setiap kandidat calon pejabat.

Berkaitan dengan perilaku koruptif, Nurliah mengutip ayat Al-Qur'an, yaitu dalam Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 11 yang artinya "Dan apabila dikatakan kepada mereka, Janganlah berbuat kerusakan di bumi! Mereka menjawab, Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan."

Sebagai penutup, Nurliah memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah korupsi, yaitu dengan cara pembiayaan Partai Politik untuk mencegah politik balas budi atau korupsi dalam rangka mengganti biaya kampanye, peningkatan peran Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK) dengan meningkatkan upaya preventif korupsi untuk mencegah korupsi dapat dicegah sebelum terjadi, dan pembangunan jiwa integritas antikorupsi masyarakat melalui institusi pendidikan, dan penguatan nilai-nilai antikorupsi pada kajian-kajian keagamaan untuk menguatkan sikap dan perilaku antikorupsi, pungkas Nurliah.

Webinar ini juga dipaneli oleh beberapa orang pakar dan akademisi seperti Prof. Dato' Arif Perkasa Dr Mohd Asri Zainul Abidin, Multi Kerajaan Negeri Perlis, Dr. Kj Jhon, Founder Director, Orientasi Heart and Mind Study Institute (OHMSI) dan Profesor Dr. Shakia Yacob, dan Encik Jufitri Joha, Presiden Majelis Belia Malaysia (MBM) selaku moderator.

Share this:
https://esdm.riau.go.id/web/logs1/