Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita menggelar diskusi akhir pekan terkait “Isu-isu Krusial yg Dihadapi Pemerintahan Prabowo Subianto : Bidang Politik dan Pemerintahan” melalui zoom meeting dengan total 288 peserta dan disiarkan secara langsung melalui Youtube dengan jumlah penonton sebanyak 697 kali , pada Minggu, 14 Oktober 2024 pukul 19:30 s.d 22:00 WIB.
Diskusi tersebut difasilitasi oleh Dr. Eha Saleha sebagai moderator dan dipandu oleh Kang Jana Tèa sebagai host. Kemudian dilanjutkan Narasumber; Dr. A. Doli Kurnia Tandjung, Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA, Prof. Dr. Lili Romli, M.Si, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA, dan Prof. Ali Munhanif.
Dr. Eha Saleha sebagai pengantar diskusi akhir pekan tersebut menyampaikan beberapa isu krusial yang dihadapi pada masa pemerintahan Prabowo Subianto dalam politik pemerintahan diantaranya; stabilitas politik dan koalisi partai, isu demokratisasi, desentralisasi dan hubungan pemerintahan, reformasi birokrasi, penegakan hukum dan anti-korupsi.
Kemudian, anggota DPR RI fraksi Partai Golkar Dr. Ahmad Doli Kurnia Tandjung melihat bahwa demokrasi itu adalah bagaimana menempatkan makin banyak suara atau kepala yang menentukan keputusan publik itu semakin membaik, kebebasan pers, semua pelanggaran HAM disuarakan. Berdasarkan pengalaman selama 5 tahun di komisi II DPR RI sudah mencoba menyusun adanya penyempurnaan atau revisi terkait dengan undang-undang politik dan pemerintahan yang seharus nya dapat diimplementasikan di periode yang sekarang, yaitu terkait undang-undang pemilu yang harus disempurnakan yaitu dengan pengaturan pemilu cukup hanya satu rezim atau undang-undang saja.
Ia berpendapat, dalam konteks pembangunan politik dan pemerintahan dalam 5 tahun kedepannya, pemerintah harus berani untuk melalukukan evaluasi total dan mendasar sampai hal yang fundamental, mulai dari undang-undang yang teknis kemudian sampai hal-hal yang mendasar seperti melakukan amandemen terhadap konstitusi Indonesia.
”Undang-undang tentang pemerintah daerah memiliki dua syarat yang tidak dilanjuti oleh pemerintah yaitu penataan desain besar pemerintah daerah dan otonomi daerah. Ada banyak sekali daerah-daerah yang meminta pemekaran, tercatat di Kementrian Dalam Negeri sudah terregistrasi ada 329 calon daerah otonomi baru yang tidak bisa di follow up karena masih ada kebijakan moratorium. Saya mengharapkan ada lembaga-lembaga riset yang melakukan penelitian terkait jumlah ideal daerah otonom yang harus dipercepat pembangunannya sampai pada tahun 2045,” ujarnya.
Selanjutnya pandangan Prof. Nurliah terhadap isu-isu krusial untuk mengingatkan pemerintah akan tujuan mensejahterakan rakyat. Negara kesejahteraan berfungsi untuk melindungi hak-hak individu dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat. Kesejahteraan juga mencakup kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan tujuan menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (maqashid syariah). Prof. Nurliah menyampaikan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Asia Tenggara tahun 2023 pada rangking 107 dari 191 negara dengan skor 0,705. Skor profesionalisme pemerintahan berada di angka 52,3, mencerminkan masih adanya tantangan dalam tata kelola birokrasi. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tercatat 34/100, menempatkannya di peringkat 110 dari 180 negara. Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, Indonesia masih tertinggal dari Singapura (skor 85) dan Malaysia (skor 47). Indeks Demokrasi Indonesia pada 2023 berada di 6,3, dengan tantangan pada kebebasan sipil dan keterlibatan publik.
Harapannya, di masa pemerintahan baru Prabowo dapat membawa Indonesia pada cita-cita kemerdekaan yaitu dengan; reformasi ekonomi dan penguatan industri nasional, pengurangan kemiskinan melalui program-program sosial, penghapusan monopoli dan oligopoli, dan Revisi kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Potensi masalah politik dalam pemerintahan Prabowo Subianto mencakup tantangan besar dalam menjaga stabilitas koalisi partai, harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta penanganan isu-isu regulasi yang masih diperdebatkan seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Potensi resistensi dari oposisi dan masyarakat juga bisa muncul terkait reformasi kebijakan yang kontroversial. Pemerintahannya dihadapkan pada kebutuhan untuk memastikan reformasi berjalan efektif sambil mempertahankan kepercayaan publik, yang bisa terhambat oleh persepsi korupsi dan profesionalisme birokrasi.
Dalam pemerintahan Prabowo Subianto, sejumlah tantangan politik muncul, termasuk isu-isu terkait undang-undang yang berpotensi menimbulkan masalah. Beberapa di antaranya adalah UU Cipta Kerja (Omnibus Law), yang mendapat kritik terkait perlindungan tenaga kerja dan lingkungan, serta UU Minerba No. 3 Tahun 2020, yang memunculkan kekhawatiran soal pengelolaan sumber daya alam. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 juga menjadi sorotan terkait akses kesehatan. Solusi yang ditawarkan mencakup evaluasi kebijakan, transparansi dalam implementasi, dan dialog dengan masyarakat untuk perbaikan.
Prof. Dr. Lili Romli berharap pemerintah dapat memperbaiki kondisi demokrasi yang terus menurun dan terdapat ancaman terhadap kebebasan pada Undang-Undang ITE dan per 1 Januari 2026 akan diberlakukan UU KUHP. Undang-undang yang menghambat kebebasan perlu direvisi, untuk mengembalikan kondisi demokrasi di Indonesia yang menurun pada tahun 2023, di angka 5,4.
”Ada dua institusi yang sedang menyusun untuk memperbaiki partai politik yang mungkin bisa diadopsi; Bappenas akan menyusun indeks integritas partai politik, dan pusat pemerintahan politik BRIN menyusun indeks internal partai politik. Ini dalam konteks untuk memperbaiki partai-partai politik yang selama ini berdasarkan survei itu selalu urutan terakhir karena memang tingkat kelembagaannya relatif rendah, kaderisasi nya itu bersifat sentralitis dan demokrasi internal nya tidak berjalan sejak tahun 2011. Pemerintah dan masyarakat perlu bersama-sama memperkuat agar partai politik kita bersifat modern dan demokratis,” ujarnya.
Prabowo dan Gibran memiliki keharusan menjadi de facto dan de jure sebagai pemerintahan terpilih adalah menata ulang praktek presidensialisme yang sudah terlanjur dijadikan sebagai bangunan pemerintahan untuk mempunyai pimpinan nasional yang kredibel menghasilkan kebijakan yang stabil dan berkelanjutan merupakan garis besar yang dikemukakan oleh Prof. Ali Munhanif.
Sementara itu, di akhir sesi bersama Prof. Dr. R. Siti Zuhro berpendapat bahwa sistem Pilkada yang kompatibel dengan otonomi daerah harus menghargai keunikan Indonesia, yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan wilayah dengan kebutuhan lokal yang berbeda. Dalam konteks ini, sistem Pilkada yang efektif akan memberikan ruang bagi daerah untuk memilih pemimpin lokal yang memahami aspirasi dan tantangan spesifik mereka. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara pemerintahan pusat dan daerah, sekaligus memastikan bahwa proses pemilihan berjalan demokratis, inklusif, dan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah yang ada di Indonesia.
Pada diskusi ini menekankan isu-isu krusial dengan mengingat pentingnya evaluasi kebijakan, transparansi, serta partisipasi masyarakat dalam merespons tantangan-tantangan tersebut untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan inklusif.