Seminar Administrasi Publik Bahas Peran Pemerintah dalam Mengurangi Risiko Bencana

Jakarta, 17 Desember 2025 — Politeknik STIA LAN Jakarta menggelar Seminar Administrasi Publik bertema “Peran Administrasi Publik dalam Mengurangi Risiko Bencana” pada Rabu, 17 Desember 2025 di Ruang Serbaguna Kampus Jakarta. Seminar ini dapat juga disaksikan secara luring melalui media mainstreaam Youtube Politeknik STIA LAN Jakarta Live dan Zoom Meetting. 

Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai peran strategis pemerintah dalam upaya pengurangan risiko bencana, baik melalui kebijakan publik, perencanaan pembangunan, maupun peningkatan kapasitas masyarakat. Selain itu, kegiatan ini diharapkan mampu mendorong kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam membangun sistem penanggulangan bencana yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Seminar ini dihadiri sekitar 300 orang yang berasal dari mahasiswa, dosen, aparatur kementerian/lembaga/daerah, tenaga kependidikan, dan undangan lainnya. yang dapat disaksikan secara daring maupun luring.

Seminar ini dibuka secara resmi oleh, Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta, Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA. Dalam sambutan Prof. Nurliah mengatakan Indonesia sebagai negara rawan bencana membutuhkan sistem administrasi publik yang kuat, terstruktur, dan berbasis tata kelola baik (good governance) untuk mengurangi risiko, mempercepat respons, dan memperkuat pemulihan pasca-bencana.

“Administrasi publik memainkan peran sentral dalam seluruh siklus manajemen bencana: mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan,” ujar Prof. Nurliah.

Prof. Nurliah menambahkan Peran tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:​

  1. Mitigasi dan Pencegahan. Administrasi publik bertanggung jawab merancang dan mengimplementasikan kebijakan mitigasi
  2. Kesiapsiagaan dan Sistem Peringatan Dini. Peran administrasi di sini meliputi: Perencanaan kontinjensi, Sistem peringatan dini, Pelatihan dan simulasi. Kegagalan dalam kesiapsiagaan sering muncul dari birokrasi yang kaku, komunikasi yang tidak efektif, dan kurangnya kapasitas SDM di tingkat daerah.​
  3. Respons dan Koordinasi Darurat. Pada fase tanggap darurat, administrasi publik harus: Memimpin koordinasi, Mobilisasi sumber daya, Pengambilan keputusan cepat. Keterlambatan respons sering disebabkan oleh birokrasi yang terlalu sentralistik, kurangnya otoritas di daerah, dan lemahnya sistem informasi kebencanaan.​
  4. Pemulihan dan Rehabilitasi. Dalam fase pemulihan, administrasi publik bertugas: Merancang program “build back better”, Mengelola dana dan bantuan, Mengintegrasikan PRB ke dalam pembangunan. Tanpa administrasi yang kuat, pemulihan sering kali tidak berkelanjutan dan masyarakat kembali rentan terhadap bencana berikutnya.​

Di Indonesia, beberapa praktik terbaik menunjukkan peran administrasi publik yang efektif:

  1. Sistem Penanggulangan Bencana (PB/PRB) yang Diakui Global

Sistem PB/PRB Indonesia telah diakui sebagai contoh baik secara global, bahkan mendapat penghargaan “Global Champion for Disaster Risk Reduction” dari PBB. Keberhasilannya terletak pada:​ Koordinasi terpadu antara BNPB, BPBD, TNI/Polri, dan lembaga vertikal., dan Pengelolaan risiko bencana yang terlembagakan di berbagai sektor (kesehatan, pendidikan, infrastruktur).​

  • Gotong Royong Pentahelix

Pemerintah Indonesia mendorong model “gotong royong pentahelix” (pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media) sebagai contoh baik penanganan bencana. Model ini menekankan:​ Kolaborasi lintas sektor dalam mitigasi, respons, dan pemulihan; Pemanfaatan kearifan lokal dan potensi masyarakat dalam kesiapsiagaan dan penanganan bencana.​

  • Penerapan “Build Back Better, Safer, and Sustainable”

Dalam pemulihan bencana, pemerintah menerapkan prinsip “build back better, safer, and sustainable” dengan memasukkan unsur mitigasi ke dalam rekonstruksi. Contohnya:​ Rekonstruksi rumah tahan gempa di daerah rawan gempa, Pemulihan daya dukung lingkungan melalui reboisasi, rehabilitasi ekosistem, dan penguatan infrastruktur hijau, dan Rekomendasi untuk Penguatan Administrasi dalam Mitigasi Bencana

Prof. Nurliah dalam seminar ini juga memberikan beberapa rekomendasi strategis bagi administrasi publik antara lain: Memperkuat tata kelola PRB, Menyusun kebijakan PRB yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan dan tata ruang, Memperjelas peran dan otoritas BNPB, BPBD, dan lembaga terkait untuk menghindari tumpang tindih, Meningkatkan kapasitas daerah, Memberikan pelatihan dan pendampingan kepada aparatur daerah dalam manajemen bencana, Mendorong pemerintah daerah untuk menyusun rencana kontinjensi dan pemetaan risiko yang akurat, Memperkuat sistem peringatan dini dan informasi, Mengembangkan sistem informasi kebencanaan yang terintegrasi dan real-time, Memastikan informasi peringatan dini sampai ke masyarakat secara cepat dan jelas, Mendorong keterlibatan masyarakat dan pentahelix, Melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program PRB, Membangun kemitraan dengan dunia usaha, akademisi, dan media untuk memperkuat kapasitas dan inovasi.

Dalam Seminar Administrasi Publik menampilkan Pembicara Notrida G.B. Mandica, Ph.D, dari Executive Consultant USIDEC dan NMPF, Dosen Eksternal Politeknik STIA LAN dan Global Initiatives Universitas Sahid; Wahyu Eka Setyawan, S.Psi, M.Sc dari Tim Riset WALHI Nasional dan Noer Isrodin Muchlisin, S.Pd., M.M (Direktur Kesiapsiagaan Basarnas). Seminar ini dipandu oleh Moderator Retnayu Prasetyanti, S.AP., M.AP. (Dosen/Kepala Laboratorium Politeknik STIA LAN Jakarta)

Narasumber Pertama,  Notrida G.B. Mandica, Ph.D, dari Executive Consultant USIDEC dan NMPF, Dosen Eksternal Politeknik STIA LAN dan Global Initiatives Universitas Sahid, menyampaikan materi “Memperkuat Peran Instansi Pusat dan Daerah Dalam Mitigasi Kerusakan Lingkungan dan Rehabilitasi”.

Notrida menyoroti apayang terjadi di Sumatra. Pulau Sumatra menjadi bagian penting penyumbang: Hasil hutan menyumbang devisa Rp. 207,7 triliun pada tahun 2024 dan Sawit menyumbang devisa Rp 440 triliun pada tahun 2023 atau sekitar 4,5% dari PDB Indonesia. Kedua sektor tersebut telah menyebabkan penggundulan hutan dan alih fungsi hutan secara masif yang mengakibatkan banjir banda saat hujan lebat turun, dan Sumatra menjadi korban rutin.

Pada satu sisi, dua sektor itu menyumbang devisa negara, pada sisi lain bencana alam mengiringi secara paralel. Nampak pada eksplotasi ekonomi tidak diikuti oleh penerapan Administrasi Publik yang benar, tidak nampak kebijakan atau koordinasi yang berpihak ada alam. Tidak nampak kekuasaan formal negara melindungi daerah dari penjarahan. Admistrasi Publik menjadi rapuh dan invalid pada proses bernegara.

Administrasi Publik  memainkan peran penting dalam mencegah bencana alam dengan fokus pada  pengurangan resiko dan kesiapsiagaann. Beberapa aspek penting antara lain:

  1. Membangun dan menerapkan kebijakan mitigasi hingga rehabilitasi seperti perencanaan penggunaan lahan dan pengaturan bangunan.
  2. Melakukan pengukuran resiko dan pemetaan daerah potensi  bencana untuk mengidentifikasi wilayah paling mungkin berdampak
  3. Koordinasi upaya-upaya manajemen bencana, pelatihan, dan rencana emergensi dari berbagai agensi atau lembaga bersama publik
  4. Mengalokasikan sumber daya secara efisien untuk infrastruktur pencegahan dan persiapan seperti bendungan, early warning systems.
  5. Mempromosikan kesadaran publik dan pendidikan untuk membangun komunitas yang resilien

Pemerintah Pusat menyusun kebijakan nasional, legislasi, frameworks, mengkoordinasikan sumber-sumber berskala besar, bantuan anggaran, mengatur multi-hazard early warning system, dan melengkapi dengan logistik dan dukungan keuangan pada level lokal.

Sedangkan Pemerintah Daerah bertanggungjawab pada implementasi kebijakan di lapangan, mendesain dan mengeksekusi rencana kesiagaan, memobilisasi sumber-sumber daya sebagai respon pertama, menerapkan tata ruang dan penggunaan lahan, ​mengukur resiko lokal, dan bersentuhan langsung dengan publik.

Koordinasi Mitigasi hingga Rehabilitasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi Desentralisasi Kewenangan, Kolaborasi Kebijakan, dan Kerangka Hukum.

Pada akhir paparan Notrida menjelaskan bagaimana membentuk hubungan pusat – daerah yang kokoh:

  1. Menguatkan Pemerintah lokal  dengan memberikan kewenangan yang cukup, mendukung secara finansial dan kapasitas institusi dalam mengatur sumber daya alam
  2. Membangun platform kolaborasi formal untuk konsultasi, koordinasi, berbagi informasi  dalam penyusunan kebijakan
  3. Memperhatikan pengetahuan lokal dan mengintegrasikan keahlian yang unik dan praktek tradisional dari masyarakat kedalam strategi manajemen sumber daya
  4. Mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penyusunan dan implementasi kebijakan di setiap level pemerintahan.
  5. Menjamin komunitas lokal menerima bagian dari revenue dan benefir yang berasal dari sumber daya alam secara adil dan merata.

Narasumber Kedua,  Wahyu Eka Setyawan, S.Psi, M.Sc (Manajer Perkotaan Berkeadilan Tim Riset WALHI Nasional), menyampaikan materi Kerusakan Lingkungan Hidup dan Peran Pemerintah dalam Membentuk Risiko.

Wahyu Eka dalam paparan menyampaikan Sekitar 26,5 juta hektar—seperempat dari total hutan Indonesia—kini berada di dalam izin konsesi industri ekstraktif (kehutanan, tambang, perkebunan). Ini adalah bentuk legalisasi deforestasi yang secara langsung melemahkan daya dukung lingkungan dan meningkatkan risiko bencana.

Banjir dan longsor dahsyat di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan kebetulan. Ini adalah akibat langsung dari deforestasi masif di kawasan hulu Bukit Barisan, di mana jutaan hektar hutan hilang akibat izin tambang, sawit, dan energi.

  • DAS Kritis di Aceh “Kehilangan tutupan hutan hingga 66% (contoh: DAS Singkil).”
  • Ekosistem Batang Toru, Sumut “Deforestasi lebih dari 72 ribu hektar akibat 18 perusahaan tambang, energi, dan HTI.”
  • Hulu Aia Dingin, Sumbar “Kehilangan 780 ha tutupan pohon, melemahkan benteng ekologis Kota Padang.”

Wahyu Eka menambahkan untuk memutus siklus bencana ekologis, peran administrasi publik harus bertransformasi—dari fasilitator pembangunan menjadi penjaga keselamatan ekologis dan keadilan sosial. Tiga pilar aksi menjadi fondasi transformasi ini. 1. Evaluasi Berbasis Risiko & Keterbukaan Informasi; 2. Partisipasi Publik yang Bermakna; dan 3. Mendefinisikan Ulang ‘Build Back Better’

Hasil: Menuju Indonesia yang Berketahanan dan Berkeadilan Dengan transformasi ini, kita tidak hanya mengurangi risiko bencana. Kita membangun masa depan di mana pembangunan selaras dengan alam, hak rakyat dihormati melalui Wilayah Kelola Rakyat (WKR), dan kedaulatan ekologis menjadi fondasi ketahanan nasional.

Dalam paparan akhir Wahyu Eka menyampaikan Langkah Mendesak untuk Administrasi Publik yaitu Tiga langkah prioritas untuk memutus siklus bencana ekologis, berdasarkan rekomendasi WALHI.

  1. Hentikan Deforestasi Total Cabut izin-izin (sawit, tambang, HTI) di kawasan hulu DAS, hutan primer, dan zona rawan bencana yang teridentifikasi.
  2. Audit & Tegakkan Hukum Lakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap semua konsesi. Tegakkan hukum tanpa kompromi terhadap perusak lingkungan, termasuk korporasi yang terbukti lalai dalam kasus karhutla.
  3. Reformasi Tata Ruang Revisi RTRW di seluruh provinsi untuk memprioritaskan perlindungan ekosistem sebagai zona lindung permanen yang tidak dapat diubah untuk kepentingan investasi ekstraktif.

Narasumber ketiga, Noer Isrodin Muchlisin,S.Pd.,M.M, Direktur Kesiapsiagaan Basarnas menyampaikan materi Strategi Operasi Pencarian Dan Pertolongan, Dan Kesiapsiagaan Basarnas Dalam Menghadapi Bencana Di Indonesia.

Noer Isrodin menyoroti sering terjadi bencana/kecelakaan, seperti Banjir, Tanah Longsor, Letusan Gunung Api, Tsunami, Siklon, Gempa Bumi, dan Kecelakaan, perlu adanya penanganan Bencana yang terkoordinasi sejak dini guna mencegah/minimalisir/korban jiwa dan harta benda.

“Diperlukan strategi penanganannya, sehingga dalam penanganan bencana alam dan pengungsi dapat berjalan dengan lancar serta dapat meminimalisir Jumlah korban dan kerugian harta benda,” ujar Noer Isrodin

STRATEGI OPERASI SAR. Prinsip Dasar Operasi aman, cepat, tepat, Sinergi dan terkoordinasi. Tahapan Operasi : 1. Awareness, 2. Innitial Action, 3. Planning, 4. Operation, 5. Mission Conclusion.

Strategi Jangka Panjang meliputi Pengembangan Kapasitas Nasional; Edukasi dan Kesiapsiagaan Nasional; dan Reformasi Sistem dan Regulasi

Indikator Keberhasilan Strategi meliputi 1. Response Time semakin cepat 2. Tingkat keselamatan tinggi 3. Jumlah korban tertolong/terevakuasi meningkat 4. Koordinasi lintas sektor efektif 5. Thrust public tinggi.

Pada akhir paparan Noer Isrodin menyampaikan kesimpulan: 1. Basarnas berkomitmen membangun sistem pencarian dan pertolongan yang profesional, andal, dan humanis, dengan keselamatan jiwa manusia sebagai prioritas utama. 2. Strategi dalam penanggulangan bencana dapat diterapkan jika semua pihak memiliki komitmen dan political will yang tinggi dari penyelenggara negara. 3. Penting mengedukasi terhadap Masyarakat dalam upaya meningkatkan budaya sadar bencana dan self rescue.

Suasana diskusi berlangsung aktif dan dinamis. Para peserta antusias mengajukan pertanyaan dan tanggapan terkait kebijakan, perijinan, dampak ekonomi, lingkungan, penentuan status bencana, dan diskusi lainnya. Diskusi ini menunjukkan tingginya perhatian peserta terhadap isu pengurangan risiko bencana. Melalui seminar ini, diharapkan lahir pemikiran kritis dan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah dalam mengurangi risiko bencana dan berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan sebagai upaya berkelanjutan dalam membangun tata kelola pemerintahan yang tangguh dan responsif terhadap bencana. serta menjadi sarana edukasi dan diskusi yang berkelanjutan yang berorientasi pada keselamatan masyarakat.

Share this:
https://esdm.riau.go.id/web/logs1/