
Jakarta, 14 November 2025 – Dalam rangka memperkuat semangat kebangsaan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerjasama Politeknik STIA LAN Jakarta menggelar kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan menekankan pentingnya menjaga nasionalisme di Era Digitalisasi Teknologi pada 14 November 2025 bertempat di Gedung Grha Makarti Bhakti Nagari Lantai, Pejompongan Jakarta. Empat pilar yang dimaksud meliputi Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Bentuk Negara; dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara.
Dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, hadir Kepala Lembaga Administrasi Negara, Dr. Muhammad Taufik, DEA memberikan sambutan dan menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI, Dr. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP, M.Si, sekaligus pemateri bersama dalam kegiatan sosialisasi ini. Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta.
“Semoga sosialisasi ini menjadi titik tolak bagi lahirnya birokrat dan pemimpin masa depan yang berjiwa kebangsaan dan berorientasi pada kemajuan bangsa,” ujar Dr. Taufik.
Dr. Taufik menambahkan di tengah tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan polarisasi sosial, Empat Pilar MPR RI menjadi jangkar yang menjaga kita tetap teguh menjaga nasionalisme, cinta tanah air, dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Sosialisasi ini bertujuan untuk: Mengukuhkan jiwa kebangsaan, memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa; dan menjadi panduan dalam kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
” Saya mengajak kita semua untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita jadikan Empat Pilar MPR RI sebagai napas dalam setiap langkah kita, baik sebagai ASN, akademisi, mahasiswa, maupun warga negara,” ujar Dr. Taufik.
Kegiatan sosialisasi ini kemudian dilanjutkan dengan pemaparan para narasumber yaitu Dr. Tr. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP., M.Si, Anggota DPR RI Komisi XIII dan anggota MPR RI sekaligus Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR dan Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA. Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta dipandu Moderator Dr. Edy Sutrisno, M.Si, Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan Politeknik STIA LAN Jakarta.
Pada sesi I pemaparan Prof. Nurliah menyampaikan materi ”Empat Pilar MPR RI dan Tantangan Digitalisasi Teknologi”. Prof. Nurliah menyoroti 80 tahun Indonesia merdeka, namun masih banyak permasalahan yang dihadapi bangsa, utamanya: korupsi, lemahnya integritas, dan rendahnya kesadaran kebangsaan. Negara seperti Korea Selatan, Jepang, Finlandia, Singapura berhasil maju karena: Institusi kuat dan bersih, dengan penerapan etika pejabat publik yang tinggi. Teknologi memperkuat transparansi, meritokrasi, integritas dan inovasi tinggi.
Untuk itu Prof. Nurliah memberikan solusi: 1) Moral, kekuatan moral dan tata kelola menentukan kemajuan, bukan sumber daya alam; 2) Etika, empat pilar harus menjadi pondasi etika pemerintahan digital, dan 3) inovasi, negara maju lahir dari investasi pada manusia, ilmu pengetahuan, dan birokrasi yang bersih.
Lebih lanjut Prof. Nurliah menambahkan tantangan digitalisasi meliputi cyber corruption dan manipulasi data, literasi digital masyarakat yang rendah, kesenjangan digital antara pusat-daerah, dan ketergantungan pada teknologi asing. Sedangkan peluang digitalisasi meliputi penguatan good governance melalui open data, lengawasan masyarakat secara langsung (real-time transparency), dan mendorong ekonomi digital berbasis moral dan keadilan sosial. Pemaparan sosialisasi disampaikan oleh Dr. Tr. Agun Gunandjar Sudarsa yang juga alumni Politeknik STIA LAN Jakarta, Agun Gunanjar menjelaskan Empat Pilar MPR RI secara mendalam, terkait hakikat Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
“Pancasila adalah hasil konsensus luhur yang menyatukan perbedaan. Ia bukan sekadar simbol, tetapi pedoman hidup bangsa yang harus terus dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan bernegara,” tegasnya.
Dr. Agun juga menyinggung proses kompromi politik dan spiritual pada masa awal kemerdekaan, yakni revisi Piagam Jakarta menjadi rumusan final sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada 18 Agustus 1945. Hal ini, ujarnya, merupakan cermin toleransi dan kebesaran jiwa para pendiri bangsa untuk menjaga keutuhan negara yang majemuk.
Lebih lanjut, Dr. Agun memaparkan tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dan hukum tertinggi di Indonesia. Ia menekankan prinsip supremasi konstitusi, di mana setiap peraturan — baik undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah — tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dr. Agun menjelaskan pula hierarki perundang-undangan berdasarkan Tap MPR No. III/2000 dan UU No. 12/2011, yang menempatkan UUD 1945 di puncak sistem hukum nasional.
Dalam konteks pendidikan dan kehidupan digital, beliau mengingatkan agar masyarakat memahami hak dan kewajiban konstitusionalnya, termasuk kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. “Kebebasan bukan berarti tanpa batas. Dalam negara hukum, setiap hak diimbangi dengan kewajiban untuk menjaga tatanan sosial dan menghormati nilai konstitusi,” ujar Agun.
Pada bagian selanjutnya, Dr. Agun menjelaskan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat melalui pemerintah pusat, dengan tetap memberikan otonomi daerah sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18, 18A, dan 18B serta UU No. 23 Tahun 2014. Beliau memaparkan struktur hubungan pemerintah pusat dan daerah secara hierarkis, mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota, hingga Kepala Desa, sebagai wujud sinergi pemerintahan yang harmonis.
“Otonomi daerah bukan berarti lepas dari kesatuan. Ia adalah mekanisme untuk mempercepat kesejahteraan dengan tetap menjaga semangat kebangsaan. Pemerintah pusat dan daerah harus saling memperkuat, bukan saling melemahkan,” tuturnya.
Dr. Agun juga menekankan bahwa di tengah dinamika politik lokal dan global, NKRI harus dijaga dari ancaman disintegrasi dan ekstremisme, dengan cara memperkuat solidaritas sosial, nasionalisme, dan kesadaran konstitusional di semua lapisan masyarakat.
Sesi terakhir pemaparan mengenai makna Bhinneka Tunggal Ika, semboyan yang diambil dari karya Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma (abad ke-14), yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Menurut Dr. Agun, nilai ini sangat relevan untuk menghadapi fragmentasi sosial di era digital, di mana perbedaan seringkali dimanfaatkan untuk menimbulkan perpecahan.
“Generasi muda harus mampu menempatkan keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Tantangan terbesar bangsa ini bukan pada perbedaan, tetapi pada ketidakmampuan kita menghormati perbedaan itu sendiri,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari — di kampus, dunia kerja, dan ruang digital — agar masyarakat tetap solid dalam bingkai kebangsaan.
Kegiatan ini ditutup dengan sesi dialog interaktif, di mana peserta berdiskusi antara lain menerapkan empat pilar kepada masyarakat di era globalisasi, reformasi birokrasi, serta tantangan membentuk karakter tangguh di kalangan generasi muda. Para peserta menunjukkan antusiasme tinggi dengan mengaitkan isu kebangsaan pada kehidupan di kampus, dan masyarakat.






